Banda Aceh – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Farid Nyak Umar, resmi membuka Festival Tet Apam Se-Kota Banda Aceh yang digelar Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh di Anjongan Pemko Banda Aceh, Kompleks Taman Ratu Safiatuddin, Sabtu (5/03/2022).
Kegiatan yang bertajuk Budaya Aceh Keuneubah Indatu tersebut memperebutkan piala Ketua DPRK Banda Aceh, yang diikuti oleh ibu-ibu dari tiap-tiap kecamatan di Banda Aceh.
Dalam sambutannya, Farid Nyak Umar menyampaikan bahwa apam merupakan makanan khas masyarakat Aceh. Makanan yang berbahan dasar tepung beras dan dibakar dengan kuali tanah inj hanya bisa ditemukan saat bulan Ramadan dan bulan kenduri apam atau bulan Rajab. Namun, kini bisa ditemui di beberapa gerai makanan dan warung kopi.
Menurutnya, tet apam ini merupakan salah satu budaya yang telah lama diwariskan secara turun-menurun dalam masyarakat Aceh pada bulan Rajab. Ini merupakan tradisi yang sudah sangat mengakar dan mempunyai nilai filosofi yang sangat mendalam, baik dilihat dari perspektif agama dan sosial budayanya.
“Budaya tet apam harus dilestarikan untuk anak cucu dan generasi penerus. Tet apam punya makna tersendiri. Pertama, kenduri apam merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat Allah Swt yang sudah memenangkan setiap tantangan hidup setahun yang lalu sampai pada persiapan menyambut Ramadan dua bulan ke depan, dengan pemenuhan nutrisi sejak bulan Rajab maupun Sya’ban.
Kedua, nilai agama. Hal ini jelas terlihat dari kebersamaan sejak dari perencanaan, proses, hingga penyajian hasil memasak bersama para keluarga dan tetangga dengan penuh keakraban, Ketiga, nilai budaya, bila mengkaji rutinitas tahunan peunajoh aceh yang dilaksanakan pada bulan Rajab dalam kalender Hijriah. Nilai budaya erat dengan jati diri bangsa dan bernilai luhur.
Keempat, nilai pendidikan. Tentunya bicara bagaimana memandu teknik detail cara menghasilkan kuliner (khususnya apam) yang baik serta lezat. Kelima, nilai ekonomi. Biaya untuk bahan baku dari menu kenduri apam biasanya dikumpulkan masing-masing keluarga, kemudahan bahan itu disatukan dan hasil masakan menjadi santapan penyajian bersama (diistilahkan khanduri) dalam suasana penuh pemaafan.
”Kenduri apam bagi orang Aceh sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat dan menjadikannya sebagai momentum untuk silaturahim antarsesama,” kata Farid saat menyampaikan sambutannya.
Farid menambahkan ada beberapa filosofi kenduri tet apam. Pertama, mempertahankan tradisi. Meskipun apam walau bisa saja dimasak dengan alat masak yang modern, tetapi apam tidak akan terasa nikmat secara cita rasa dan aromanya jika tidak “ditet” secara tradisional, bisa dikatakan “tidak sah” disebut apam jika tidak diolah secara tradisional.
”Makna yang terkandung di sini, melalui tet apamlah kita dapat mempertahankan tradisi dan kebiasaan indatu kita, tet apam adalah warisan indatu yang harus dijaga dan dilestarikan,” ujarnya
Kedua, kesabaran dan keuletan. Tet apam melatih dan membiasakan kita untuk biasa hidup ulet dan sabar. Apam dibakar satu per satu, berbeda dengan panganan lainnya yang bisa dimasak sekaligus dalam jumlah banyak.
”Dari cara memasak apam ini, kita belajar akan arti kesabaran dan keuleten, sikap sabar dan ulet adalah kunci sukses dalam kehidupan ini, sering sekali orang gagal dalam hidup dan perjuangan karena tidak mampu bersabar dan tidak gigih (ulet) dalam bekerja/berjuang,” katanya.
Ketiga, keseimbangan. Tet apam harus seimbang, antara besarnya api, kecermatan, dan ketepatan waktu. Jika tidak seimbang dan sesuai maka apam akan gosong dan tidak dapat dikonsumsi.
Keseimbangan dalam hidup ini adalah hal utama, bagaimana seseorang bisa menyeimbangkan hubungannya dengan Allah dan pada manusia, keseimbangan dalam segala urusan, sikap adil dan saling menjaga dan menghargai, sehingga lahirlah kedamaian dan ketentraman bersama.
Keempat, tidak untuk dimakan sendiri. Setiap tet apam pada satu rumah, maka sudah barang tentu apam tersebut akan dibagikan pada sanak saudara dan jiran.
”Tet apam mengajarkan kita untuk berbagi, kesetian, hidup sosial, dan peka dengan lingkungan dan sesama. Ingat prinsip ‘tidak ada apam yang dimakan sendirian’ bermakna berbagi pada sesama adalah ajaran adat istiadat dan syariat Islam,” tutur Farid.
Lebih lanjut Farid mengajak agar tradisi tet apam harus dlestarikan bersama, karena tradisi ini mengajarkan untuk memperkuat tali persaudaraan dan saling. Untuk menjaga dan melastarikan tradisi ini.[]