Banda Aceh – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Musriadi, mengatakan bahasa merupakan identitas bangsa dan salah satu kekayaan yang mesti dijaga. Selain itu, bahasa juga merupakan kekuatan moral saat manusia melangsungkan komunikasi antara satu dengan lainnya. Bahasa Aceh menurutnya harus terus dilestarikan sebagai akar sejarah dan budaya, serta untuk merawat identitas dan merawat peradaban.
“Pemuda Aceh harus menjadikan sejarah sebagai pengalaman dan cerminan untuk membangun Aceh lebih baik ke depan,” kata Musriadi saat mengikuti diskusi virtual dengan tema “Tapeukong Bangsa dengoen Bahasa” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seunuka Pikee, Selasa (15/12/2020).
Diskusi tersebut diselenggarakan untuk memperingati Hari Nusantara yang jatuh pada 13 Desember. Dalam seminar motif budaya, dua narasumber yang dihadirkan, yaitu Ketua Majelis Adat Aceh, Prof Dr Wajdi Ibrahim MA, dan Ketua Penyuluh dan ahli bahasa forensik Balai Bahasa Provinsi Aceh, Rahmat SAg MHum.
Diskusi dibuka oleh Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman. Dihadiri lebih dari seratus peserta dan tamu undangan.
Dalam sambutannya Aminullah mengatakan, bahasa merupakan instrumen paling menentukan dalam sejarah peradaban manusia juga identitas paling penting dalam peradaban sejarah. Pada era 4.0 kaum milenial mampu menguasai bahasa asing dengan sangat mudah. Namun, di balik hal positif tersebut muncul hal negatif yaitu cenderung mengabaikan bahasa daerah.
“Berdasarkan riset bidang bahasa Kemendikbud, terdapat 11 bahasa daerah di Indonesia mengalami kepunahan, empat bahasa daerah kritis, dan dua bahasa daerah mengalami kemunduran dikarenakan generasi muda yang jarang menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari,” katanya.
Aminullah juga mengapresiasi lembaga MAA, Balai Bahasa, dan Komunitas Seunuka Pike yang selalu mengkaji serta menggali sejarah dan kebudayaan Aceh. Dengan momentum ini, Aminullah berharap generasi muda dan seluruh elemen masyarakat sadar pentingnya melestarikan bahasa Aceh dan bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia.
“Mari kita utamakan bahasa Indonesia, budayakan bahasa daerah dan kuasai bahasa asing,” tutur Aminullah.
Sementara itu Ketua MAA, Farid Wajdi menyampaikan, budaya yang ditinggalkan oleh indatu harus dijaga salah satunya bahasa Aceh. Bahasa Aceh kata Farid, merupakan bahasa yang sudah dimudahkan dalam pengucapan (dalam bahasa Aceh) karena bahasanya singkat.
Mantan rektor UIN Ar-Raniry ini juga mempertanyakan tanggung jawab pejabat tinggi di Aceh terhadap pelestarian budaya yang dirasakan sudah mulai pudar.
“Dinas harus peduli terhadap eksistensi bahasa Aceh ini, begitu pun orang yang datang ke Aceh perlu belajar bahasa Aceh. Apalagi yang sudah puluhan tahun tinggal di Aceh tidak bisa bahasa Aceh dan pemerintah harus mengambil satu kebijakan, dalam satu hari para pegawai dan pejabat harus berbahasa Aceh,” pesan Farid.[]