Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh menyoroti Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota Banda Aceh Tahun Anggaran 2022 dalam rapat paripurna DPRK Banda Aceh, Jumat (14/04/23).

Sorotan tersebut dibacakan oleh pelapor DPRK, Dr Musriadi Aswad SPd MPd, dalam rapat paripurna yang dipimpin langsung Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, didampingi oleh Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II DPRK, Usman SE MSi dan Isnaini Husda SE, serta dihadiri Penjabat Wali Kota Banda Aceh, Bakri Siddiq SE MSi, dan jajaran Forkopimda Kota Banda Aceh.

Musriadi mengatakan, berdasarkan telaah terhadap LKPJ Wali Kota Kota Banda Aceh Tahun Anggaran 2022, pihaknya menemukan berbagai persoalan signifikan di hampir semua urusan pemerintahan.

Masalah-masalah yang muncul terkait dengan penggunaan Dana Otsus, realisasi anggaran, rendahnya pertumbuhan ekonomi, pengelolaan aset, kemiskinan, meningkatnya angka pengangguran, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, perumahan, lembaga keistimewaan, penggunaan wewenang pemerintah, dan perundang-undangan.

Di antaranya sebut Musriadi, realisasi pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak mencapai target. Hal ini kata dia bukan semata-mata karena Pemerintah Kota Banda Aceh berkinerja belum maksimal. Tetapi penyebabnya bisa saja karena target PAD yang ditetapkan pemko terlalu tinggi atau melampaui dari potensi PAD berdasarkan data historis yang ada.

Musriadi menjelaskan, realisasi PAD pada tahun 2021 berjumlah Rp224.364.761.635,43 dengan target sebesar Rp327.189.757.553,00, lebih rendah dari realisasi PAD di tahun 2022. Namun, kata dia, pola keduanya sama, yakni membuat target PAD yang tinggi, tetapi realisasinya rendah.

Di tahun 2022, target PAD adalah sebesar Rp330.149.718.883,00 00 dan realisasi sebesar Rp314.917.421.916,95 00. Namun, yang menjadi catatan, besarnya realisasi PAD tersebut bersumber dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang peruntukan dan penggunaan anggaran sudah ditentukan. Sedangkan dari sektor pajak daerah realisasinya sebesar 76,43% dan retribusi daerah hanya terealisasi 56,29%.

Dengan demikian, kata Muriadi, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh menentukan target PAD lebih besar dari kemampuan pemko dalam merealisasikan PAD, sehingga terjadinya defisit yang menyebabkan timbulnya utang. Ini berdampak pada kondisi keuangan yang tidak sehat dan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak optimal.

“Padahal dalam tiga tahun terakhir Pemko Banda Aceh selalu mengalami utang di akhir tahun anggaran akibat target PAD yang terlalu besar, seharusnya ini bisa menjadi pelajaran agar hal ini tidak terulang di tahun anggaran berikutnya,” ujar Musriadi.

Terkait dengan penggunaan dana yang bersumber dari PAD, yang terealisasi sejumlah Rp314.917.421.916,95, Musriadi mempertanyakan ke mana dana ini digunakan, apakah digunakan untuk membayar utang pemerintah kota pada akhir tahun 2021, yang harus dilunasi pada tahun 2022? Jika benar, lalu berapakah sisa utang di akhir tahun 2023.

Logika sederhananya kata dia, dalam memahami keterkaitan antara utang atau kewajiban adalah setiap utang harus menjadi prioritas utama pembayaran oleh pemerintah kota.

“Artinya, ketika PAD terealisasi, maka semestinya digunakan untuk melunasi utang yang ada, meskipun harus menyicil atau tidak dibayarkan sekaligus seluruhnya.”

Menurut Musriadi pertanyaan ini perlu diajukan untuk memastikan bahwa Penjabat Wali Kota Banda Aceh memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban utang tahun 2021 yang harus yang harus diselesaikan di tahun 2022, meskipun itu warisan wali kota sebelumnya. Karena membayar kewajiban atau utang tahun 2021 merupakan hal paling prioritas untuk dilakukan oleh Pemko Banda Aceh, sebelum melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dianggarkan pada tahun 2022.

“Artinya, di awal tahun 2022, Pemerintah Kota Banda Aceh seharusnya membayar utang tahun 2021 terlebih dahulu, baru kemudian merealisasikan belanja untuk kegiatan-kegiatan prioritas di tahun 2022 sesuai dengan ketersediaan anggaran,” ucap Musriadi Aswad.

Namun, kata Musriadi, jika Pemko Banda Aceh justru membayar belanja untuk kegiatan baru di tahun 2022, sementara utang tahun 2021 belum tuntas, maka ini ibarat “masalah lama belum tuntas, justru sudah ditambah dengan masalah baru.”

Hal ini dikhawatirkan kemungkinan besar untuk memenuhi kepentingan tertentu (self-interest) yang berakibat dapat merugikan masyarakat, aparatur pemerintah, aparatur gampong dan para pihak yang telah melaksanakan kewajibannya, tetapi tidak dibayarkan haknya oleh Pemko Banda Aceh.

DPRK Banda Aceh juga menyoroti tidak terealisasinya pendapatan transfer dari pemerintah pusat maupun transfer antardaerah. Selain itu sorotan ditujukan pada realisasi PAD yang rendah yang berdampak pada timbulnya utang dalam tiga tahun terakhir (tahun 2020, 2021, dan 2022) sehingga Qanun APBK Banda Aceh yang sudah disepakati bersama antara DPRK dengan Pemko Banda Aceh pada akhir tahun anggaran, selanjutnya secara sepihak dilakukan revisi melalui Peraturan Wali Kota (Perwal) guna menutupi utang.

Dewan kota meminta Pj Wali Kota Banda Aceh untuk menetapkan target PAD berdasarkan potensi dan fokus menyelesaikan utang yang ada agar meninggalkan warisan (legacy) yang baik dalam pengelolaan keuangan daerah.

Musriadi menyampaikan bahwa DPRK merekomendasikan kepada Pj Wali Kota Banda Aceh untuk melakukan pengkajian terhadap efektivitas kelembagaan Badan Pengelolaan Keuangan Kota (BPKK) BandaAceh, dimana selama ini terkesan BPKK mendapatkan tugas yang relatif berat yaitu mengelola keuangan dan mengumpulkan sumber pendapatan Kota Banda Aceh.

“Pj Wali Kota perlu mengkaji, apakah BPKK masih layak bersanding dalam satu lembaga? Atau sudah saatnya SOTK lembaga ini dipisahkan menjadi lembaga pengelola keuangan dan lembaga lain untuk pengelolaan pendapatan,” pungkas anggota Fraksi PAN ini.[]

PAD Kota Tak Capai Target, DPRK Soroti LKPJ Wali Kota Tahun 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *